hayatulislam.net – Ada kalangan yang secara ‘berani’ menggugat marhalah dakwah Rasulullah saw., bahkan menyebut sirah Rasulullah saw. bukan sesuatu yang hakiki, sehingga sirah tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan pijakan dalam metode dakwah.
Dengan pernyataan seperti ini, kalangan tersebut bermaksud mengatakan bahwa kaum Muslim tidak harus terikat dengan nash-nash yang tidak bisa dipercaya, sehingga kita tidak diperintahkan untuk melaksanakannya. Mereka menganggap alasan ini adalah hujjah lahum, bukan hujjah ‘alayhim. (Hujjah lahum adalah hujjah yang menguntungkan mereka, sedangkan hujjah ‘alayhim adalah hujjah yang merugikan mereka, red.). Pernyataan demikian lebih dimaksudkan agar kita tidak meneladani perbuatan Rasulullah saw. di Makkah ketika berusaha mendirikan Daulah Khilafah.
Untuk menjawab pendapat ini kami ingin mengatakan bahwa Sirah Rasulullah saw. merupakan sejumlah berita dan peristiwa yang membutuhkan analisis (tahqîq) dan pembuktian (tawtsîq). Oleh karena Sirah Rasulullah saw. berkaitan dengan berbagai tindakan dan aktivitas beliau, maka ia termasuk sebagian dari wahyu. Oleh karena itu, kaum Muslim wajib memperhatikan Sirah Musthafa, sebagaimana mereka memberikan perhatian pada al-Quran dan as-Sunnah.
Sirah Rasulullah saw. di Makkah merupakan kumpulan dari berbagai perbuatan beliau ketika berada di sana. Perbuatan beliau di Makkah telah membuahkan tegaknya Dâr al-Islâm di Madinah. Meremehkan Sirah Rasulullah saw. berarti dosa bagi orang-orang yang mampu untuk melakukan analisis; jika memang selama ini tidak ada usaha untuk melakukan hal itu. Kaum Muslim pun dipandang berdosa jika memang tidak pernah mendorong lahirnya para analis yang mampu untuk melaksanakan tugas itu.
Yang sangat aneh, yang melontarkan pemikiran semacam ini justru orang-orang yang sangat memperhatikan ihwal bagaimana hadis dikeluarkan dan diteliti (takhrîj ahâdits wa tahqîqihâ). Mereka melontarkan pemikiran ini seakan-akan mereka tidak dibebani usaha untuk menegakkan agama. Mereka melontarkannya hanya sekadar untuk menorehkan satu titik penting yang berbeda dari yang lain.
Orang-orang Muslim itu telah lupa bahwa mereka, sebagaimana Muslim yang lain, diperintahkan untuk berusaha mendirikan Daulah Islamiyah. Kenyataan ini jelas mewajibkan mereka untuk melakukan penelitian, pengamatan, dan pengujian. Ketika realitas yang ada membutuhkan adanya takhrîj atas berbagai hadis yang berkaitan dengan masalah syariat yang bersifat parsial, mereka melakukan usaha yang patut dipuji, mencurahkan segala upaya, dan menghabiskan waktu yang sangat lama untuk melakukan hal itu. Akan tetapi, mengapa mereka tidak mencurahkan hal yang sama ketika masalahnya berkaitan dengan menegakkan agama secara umum?
Sesungguhnya kitab-kitab sirah tidak sampai batas di mana berita-beritanya tidak perlu diambil dan riwayat-riwayatnya tidak bisa digunakan.
Kita tahu bahwa sesungguhnya penulisan sejarah yang dilakukan oleh para penulis sirah selama ini tidak menggunakan metode para ahli hadis, baik dalam melakukan penelitian, memastikan keadilan para perawi dan penukil, maupun menelusuri kebenaran yang dinukil; termasuk dari segi kesahihan penukilan, gaya bahasa, takhrîj (penyebutan nama perawi dan kedudukan hadis) dalam penukilan. Hal semacam ini merupakan sebagian faktor yang menjadikan para ulama hadis dan orang-orang yang sangat memperhatikan tahqîq memandang remeh kitab-kitab sirah. Padahal, sejatinya, ilmu hadis membutuhkan apa yang telah diteliti oleh para muhaddits dan ulama ahli hadis.
Sesungguhnya sirah membutuhkan salah satu aspek dari ilmu hadis, yaitu aspek yang berkaitan dengan Rasulullah saw. dan sahabat beliau. Mengabaikan aspek lainnya yang tidak berkaitan dengan Rasulullah saw. dan para sahabat beliau tidaklah berarti menikam ilmu ini. Pasalnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi sangat banyak, sedangkan waktu berlalu begitu cepat. Oleh karena itu, para penulis sirah dan sejarah tidak akan mampu menulis setiap peristiwa jika harus sepenuhnya mengikuti metode para muhaddits.
Dari sini, jelas bahwa sirah Nabi saw. merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh kaum Muslim, karena sirah mengandung berita-berita tentang Rasulullah saw.; baik berupa perbuatan, perkataan, dan diamnya beliau maupun sifat-sifat beliau. Semuanya adalah mengandung syariat seperti halnya al-Quran. Sirah Rasulullah saw. merupakan salah satu materi hukum Islam karena dianggap sebagian dari hadis. Apa saja yang dipandang sahih dari sirah maka dianggap sebagai dalil syariat, karena termasuk ke dalam sunnah. Apalagi karena meneladani Rasulullah saw. telah diperintahkan oleh al-Quran. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al-Ahzab [33]: 21).
Walhasil, memperhatikan sekaligus mengikuti sirah merupakan perkara yang diperintahkan oleh syariat.
Metode orang-orang terdahulu dalam menukil sirah berpijak pada periwayatan berbagai berita yang ada. Para sejarahwan telah memulainya secara lisan. Generasi awal yang menyaksikan dan mendengar berbagai tindakan dari Nabi saw. mulai meriwayatkan kepada yang lainnya. Riwayat mereka kemudian dibawa lagi oleh generasi sesudah mereka. Sebagian ada yang menuliskannya secara terpisah-pisah seperti yang bisa dilihat pada buku-buku hadis sampai sekarang ini. Oleh karena itu, pada Abad ke-2 Hijrah, kita melihat bahwa sebagian ulama mulai mengumpulkan berbagai berita sirah dan menggabungkannya menjadi satu. Mereka lantas menyusunnya dengan metode riwayat, yakni dengan menyebut nama perawi dan sanadnya, persis seperti yang dilakukan dalam periwayatan hadis. Oleh karena itu, para ulama hadis dapat mengkritiknya dan mengetahui mana saja berita-berita yang sahih dan dapat diterima serta mana berita-berita yang lemah dan tertolak. Inilah yang dijadikan landasan oleh orang-orang yang menggunakan sirah sebagai dalil, tentu jika dalil itu dipandang sahih. Persoalannya, bukanlah dibuatnya disiplin ilmu yang baru, tetapi yang dimaksud tiada lain adalah ketelitian dan penyaringan yang benar terhadap perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Pasalnya, banyak orang yang memandang penting sirah berusaha meneliti sirah. Demikian pula, jamaah atau partai yang meneladani Rasulullah saw. dalam menegakkan agama harus benar-benar meneliti nash-nash yang dijadikan dalil-dalil bagi aktivitasnya.
Kitab-kitab sirah, meskipun berbeda-beda, telah bersepakat—sebagaimana halnya kitab-kitab hadis dan juga al-Quran Mulia—dalam menyebutkan fase-fase perjalanan dakwah dan segala aktivitasnya. Al-Quran telah menjelaskan banyak sekali perincian yang cukup untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kebenaran apa yang dinukilnya. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw. harus berhadapan dengan berbagai akidah (keyakinan) yang rusak, beliau berhadapan dengan orang-orang yang menyembah berhala, kaum ad-Dahriyyah, Yahudi, Majusi dan Shabi’in. Al-Quran telah menyebutkan hal itu di dalam banyak ayatnya. Rasulullah saw. juga menyerang berbagai adat dan kebiasaan jahiliyah seperti pembunuhan anak perempuan, penyambungan rambut, dan perjudian. Beliau pun menghadapi para penguasa sekaligus menyebut-nyebut nama mereka dan sifat-sifat mereka serta menyingkap persekongkolan mereka terhadap dakwah. Oleh karena itu, jamaah atau gerakan Islam harus pula melaksanakan hal ini. Akan tetapi, keterikatan jamaah atau gerakan dakwah hanya dituntut pada pokok perbuatan dan pada pengertian universalnya; bukan pada pengertian partikularnya, wasilah-wasilah yang digunakannya, atau bentuk-bentuknya.
Dengan demikian, jamaah atau gerakan Islam harus mau berhadapan dengan berbagai pemikiran yang salah dan pemahaman yang campur-aduk. Jamaah atau gerakan Islam juga harus menyerang berbagai tradisi dan kebiasaan yang menyimpang dari Islam dalam realitasnya. Lebih dari itu, jamaah atau gerakan Islam juga harus mau berhadapan dengan penguasa dan menyingkapkan persekongkolan mereka; menjelaskan pemikiran Islam dan hukum-hukumnya; serta mengajak umat untuk mengadopsi berbagai pemikiran dan hukum Islam tersebut serta beraktivitas bersama-sama menegakkan Islam dalam kehidupan mereka.
Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah saw. telah berjuang, sedangkan beliau tidak bersenjata (tidak punya kekuatan). Beliau tidak pernah pilih kasih, tidak mau jalan bersama dan menerima kompromi dengan orang-orang kafir, menolak segala rayuan dan janji-janji, menolak segala ancaman, senantiasa bersabar, dan tidak pernah menyimpang dari perintah Tuhannya. Al-Quran telah menceritakan kepada kita semua ini. Oleh karena itu, hendaklah hal ini menjadi petunjuk bagi jamaah atau gerakan Islam di dalam menjalankan aktivitasnya.
Kitab-kitab sirah, meskipun berbeda-beda, telah bersepakat—sebagaimana halnya kitab-kitab hadis dan juga al-Quran Mulia—dalam menyebutkan fase-fase perjalanan dakwah dan segala aktivitasnya. Al-Quran telah menjelaskan banyak sekali perincian yang cukup untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kebenaran apa yang dinukilnya. Sebagai contoh, ketika Rasulullah saw. harus berhadapan dengan berbagai akidah (keyakinan) yang rusak, beliau berhadapan dengan orang-orang yang menyembah berhala, kaum ad-Dahriyyah, Yahudi, Majusi dan Shabi’in. Al-Quran telah menyebutkan hal itu di dalam banyak ayatnya. Rasulullah saw. juga menyerang berbagai adat dan kebiasaan jahiliyah seperti pembunuhan anak perempuan, penyambungan rambut, dan perjudian. Beliau pun menghadapi para penguasa sekaligus menyebut-nyebut nama mereka dan sifat-sifat mereka serta menyingkap persekongkolan mereka terhadap dakwah. Oleh karena itu, jamaah atau gerakan Islam harus pula melaksanakan hal ini. Akan tetapi, keterikatan jamaah atau gerakan dakwah hanya dituntut pada pokok perbuatan dan pada pengertian universalnya; bukan pada pengertian partikularnya, wasilah-wasilah yang digunakannya, atau bentuk-bentuknya.
Dengan demikian, jamaah atau gerakan Islam harus mau berhadapan dengan berbagai pemikiran yang salah dan pemahaman yang campur-aduk. Jamaah atau gerakan Islam juga harus menyerang berbagai tradisi dan kebiasaan yang menyimpang dari Islam dalam realitasnya. Lebih dari itu, jamaah atau gerakan Islam juga harus mau berhadapan dengan penguasa dan menyingkapkan persekongkolan mereka; menjelaskan pemikiran Islam dan hukum-hukumnya; serta mengajak umat untuk mengadopsi berbagai pemikiran dan hukum Islam tersebut serta beraktivitas bersama-sama menegakkan Islam dalam kehidupan mereka.
Sebagaimana kita ketahui, Rasulullah saw. telah berjuang, sedangkan beliau tidak bersenjata (tidak punya kekuatan). Beliau tidak pernah pilih kasih, tidak mau jalan bersama dan menerima kompromi dengan orang-orang kafir, menolak segala rayuan dan janji-janji, menolak segala ancaman, senantiasa bersabar, dan tidak pernah menyimpang dari perintah Tuhannya. Al-Quran telah menceritakan kepada kita semua ini. Oleh karena itu, hendaklah hal ini menjadi petunjuk bagi jamaah atau gerakan Islam di dalam menjalankan aktivitasnya.
Sesungguhnya Allah Swt. telah menurunkan perintahnya kepada Rasulullah saw. demikian:
Oleh karena itu, nyatakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu. (QS al-Hijr [15]: 94).
Di dalam ayat tersebut, sesungguhnya terdapat isyarat (dalâlah) bahwa sebelum turunnya ayat tersebut, Rasulullah saw. belum berdakwah secara terang-terangan, tetapi melakukannya secara rahasia dan sembunyi-sembunyi. Itulah yang dilakukan oleh beliau sebelum periode terang-terangan.
Allah Swt. juga berfirman:
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu al-Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memberi peringatan kepada Ummul Qura’ (penduduk Makkah) dan penduduk (negeri-negeri) sekelilingnya. (QS asy-Syura [42]: 7).
Ayat di atas mengandung perintah kepada Rasulullah saw. untuk melakukan aktivitas dakwah di luar Makkah. Penyebutan al-Quran tentang kaum Muhajirin dan kaum Anshar merupakan dalil adanya hijrah dan pertolongan.
Dengan demikian, al-Quran adalah petunjuk utama. Kitab-kitab hadis banyak sekali menceritakan berbagai berita tentang kaum Muslim pada masa Makkah. Imam al-Bukhari, misalnya, telah menyebutkannya di dalam bab, “Apa yang ditemui Nabi saw. dan para sahabat dari orang-orang musyrik di Makkah.”
Imam al-Bukhari menyebutkan hadis Khabbab ibn al-Arats. Di dalamnya disebutkan bahwa al-Arats datang kepada Rasulullah saw. untuk meminta beliau berdoa agar Allah menolong kaum Muslim. Disebutkan juga doa Rasulullah atas para tokoh Quraisy serta gangguan yang paling keras yang diterima Rasulullah saw. dari kaumnya ketika pergi ke Thaif. Demikian juga di dalam sejumlah kitab sirah yang lain.
Dengan demikian, sesungguhnya kita tidaklah berada di hadapan suatu perbuatan yang dituntut untuk dilaksanakan oleh kita, sementara kita tidak memiliki nash-nashnya.
Perlu diketahui di sini bahwa para penulis sirah adalah para imam yang terpercaya, orang-orang yang adil, dan terkenal. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1) Ibn Ishaq (85 H – 152 H). Ia menulis buku Al-Maghâzî. Buku ini dikomentari oleh az-Zuhri dengan pernyataan, “Siapa saja yang ingin mempelajari peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. hendaklah membaca buku Ibn Ishaq.” Tentang Ibn Ishaq, Asy-Syafi’i juga berkomentar, “Siapa saja yang ingin mendalami peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah, maka di a harus menjadi bagian dari keluarga Ibn Ishaq.” Imam al-Bukhari juga menyebut Ibn Ishaq dalam Târîkh-nya.
2) Ibn Sa’ad (168 H- 230 H). Ia menulis Ath-Thabaqât. Tentang Ibn Sa’ad, Al-Khathib al-Baghdhadi berkomentar, “Muhammad ibn Sa’ad, menurut kami, adalah orang yang adil dan pembicaraannya menunjukkan kejujurannya. Sesungguhnya dia meneliti sebagian besar periwayatan yang ditulisnya.” Ibn Khillikan juga menyatakan, “Dia adalah orang yang jujur dan terpercaya.” Ibn Hajar juga berkomentar tentang Ibn Sa’ad demikian, “Dia adalah salah seorang penghapal (hâfizh) yang hebat dan terpercaya serta peneliti.”
3) Ath-Thabari (224 H – 310 H). Ia menulis buku, Târîkh ar-Rusul wa al-Mulûk, yang menggunakan metode sanad. Tentang ath-Thabari, Al-Khathib al-Baghdadi berkomentar, “Dia mengetahui banyak sunnah (hadis) dan jalur periwayatan (sanad)-nya; mengetahui mana yang sahih dan mana yang dha’îf; serta mengetahui sejarah manusia dan berbagai beritanya.” Umumnya, pembicaraan tentang ath-Thabari menyebutkan bahwa dia telah menulis buku sejarahnya dengan metode para ahli hadis. Dia juga menulis buku hadis yang berjudul, Tahdzîb al-Atsâr wa Tafshîl ats-Tsâbit ‘an ar-Rasûlillâh saw. min al-Akhbâr. Tentang buku ini, Ibn ‘Asakir berkomentar demikian, “Sesungguhnya buku ini adalah salah satu buku yang mencengangkan. Dia membicarakan sejumlah hadis sahih dari Rasulullah saw.”
4) Ibn Katsir dan adz-Dzahabi. Keduanya memiliki pengaruh yang besar dalam bidang hadis.
Sumber: al-wa’ie Edisi 11